Pages

Minggu, 27 Januari 2013

Pemikiran Imam Syafi'i Tentang Bid'ah (Maulid Nabi)


Perayaan Maulid Nabi di Tanah Jawa


.   
Pembagian bid’ah menurut Imam Syafi’i adalah,sbb:
a.      Bid’ah yang baik (bid’ah mahmudah)
Bid’ah mahmudah adalah perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, atsar (sahabat), dan ijma’.
b.     Bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah)
Bid’ah madzmumah adalah perkara baru yang bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, atsar (sahabat), dan ijma’.
Imam Syafi’i berkata: “Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu perkara yang dibuat-buat yang menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah, atsar (sahabat), dan ijma’ maka ini termasuk bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i (1: 468-469). Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131)

Kemudian pembagian ini diikuti secara ghuluw (melampaui batas syari’at) oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah dholalah (sesat) dalam terminologi syari’at menurut mereka karena setiap orang berhak dan memiliki pemikiran yang beragam untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.

Dalam pembahasan subbab sebelumnya, telah dibahas tentang tercelanya bid’ah. Beberapa ulama pendahulu kita yang shahih (as-salafush-shalih) memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at, yang tidak ada dalilnya, dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW serta para sahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak mengecualikan bid’ah dengan kata mahmudah (baik) karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dholalah (sesat).

Kita tidak berpandangan bahwa beliau Imam Syafi’i menyelisihi pendahulunya.
Imam Syafi’i berkata: “Barang siapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pandangannya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at.” (Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal.374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu.” (Ar-Risalah, hal.507)

Ibnu Rajab Al-Hambali r.a menjelaskan maksud perkataan Imam Syafi’i mengenai bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Beliau berkata: “Yang dimaksud oleh Imam Syafi’i tentang bid’ah madzmumah adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah yang mahmudah adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah, yaitu yang memiliki asal dari Rasulullah SAW sebagai pendukung. Namun yang dimaksud bid’ah mahmudah di sini adalah bid’ah secara bahasa dan bukan secara istilah syar’i.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131)

Ibnu Taimiyah r.a menjelaskan maksud perkataan Imam Syafi’i. Beliau berkata: “Apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi dalil, maka tidak disebut bid’ah. Imam Syafi’i berkata bahwa bid’ah itu ada dua macam, yaitu yang menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah, atsar dari berbagai sahabat Rasulullah SAW, dan ijma’. Bid’ah yang seperti itu termasuk bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan jika tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka termasuk bid’ah mahmudah. Karena Umar bin Khotob berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”(pada saat menghidupkan sholat tarawih secara berjama’ah. Perkataan semacam ini dan semisalnya dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih.”(Majmu’ Al Fatwa, 20: 163)

Imam Syafi’i bukanlah orang yang mudah melegalkan bid’ah. Beliau merupakan orang yang paling semangat dalam ittiba’ atau mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. Dan beliau juga adalah orang yang sangat keras pada orang yang membantah sabda Rasulullah SAW. Bahkan beliau diberi gelar oleh penduduk Baghdad Nashirus Sunnah yang artinya pembela sunnah.
Imam Syafi’i menuturkan tentang keutamaan orang yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. Beliau berkata:
“Barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi karena kecintaan (ikhwanan) secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin”. (Kitab Madarijus Su’uud hal. 16, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh An-Nawawiy Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz)

Namun sebagai sebuah mazhab besar, tidak ada pernyataan resmi dari mazhab As-Syafi'i bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tiap tahun sebagai sebuah kewajiban yang harus dijalankan secara rutin.Kita tidak akan menemukan di dalam kitab-kitab fiqih As-Syafi'iyah yang induk dan muktabar lafadz yang menyebutkan bahwa: peringatan maulid nabi hukumnya wajib atau sunnah serta harus selalu dirayakan setiap tahun oleh orang beriman.
Bukan berarti yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW pasti merupakan bid’ah yang sesat. Tatkala Umar bin Khotob mengusulkan pengumpulan dan pembukuan Al-Quran, Khalifah Abu Bakar khawatir karena Rasulullah SAW tidak mengerjakannya. Namun Umar bin Khotob berhasil menyakinkan Khalifah Abu Bakar dengan alasan bahwa itu merupakan perbuatan baik yang tidak bertentangan sengan syari’at. Ibnu Hajar Asqalany menyebutkan pembukuan Al-Qur’an oleh Khalifah Abu Bakar masuk dalam bab membuat sunnah hasanah (tradisi yang baik) sesuai hadits Rasulullah SAW.
“Siapa saja yang membuat suatu tradisi yang baik (tidak bertentangan dengan syari’at) maka dia mendapatkan pahala dan pahala orang yang mengerjakannya.”  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar