Pages

Minggu, 27 Januari 2013

Pemikiran Imam Syafi'i Tentang Bid'ah (Maulid Nabi)


Perayaan Maulid Nabi di Tanah Jawa


.   
Pembagian bid’ah menurut Imam Syafi’i adalah,sbb:
a.      Bid’ah yang baik (bid’ah mahmudah)
Bid’ah mahmudah adalah perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, atsar (sahabat), dan ijma’.
b.     Bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah)
Bid’ah madzmumah adalah perkara baru yang bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, atsar (sahabat), dan ijma’.
Imam Syafi’i berkata: “Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu perkara yang dibuat-buat yang menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah, atsar (sahabat), dan ijma’ maka ini termasuk bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i (1: 468-469). Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131)

Kemudian pembagian ini diikuti secara ghuluw (melampaui batas syari’at) oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah dholalah (sesat) dalam terminologi syari’at menurut mereka karena setiap orang berhak dan memiliki pemikiran yang beragam untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.

Dalam pembahasan subbab sebelumnya, telah dibahas tentang tercelanya bid’ah. Beberapa ulama pendahulu kita yang shahih (as-salafush-shalih) memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at, yang tidak ada dalilnya, dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW serta para sahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak mengecualikan bid’ah dengan kata mahmudah (baik) karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dholalah (sesat).

Kita tidak berpandangan bahwa beliau Imam Syafi’i menyelisihi pendahulunya.
Imam Syafi’i berkata: “Barang siapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pandangannya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at.” (Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal.374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu.” (Ar-Risalah, hal.507)

Ibnu Rajab Al-Hambali r.a menjelaskan maksud perkataan Imam Syafi’i mengenai bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Beliau berkata: “Yang dimaksud oleh Imam Syafi’i tentang bid’ah madzmumah adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah yang mahmudah adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah, yaitu yang memiliki asal dari Rasulullah SAW sebagai pendukung. Namun yang dimaksud bid’ah mahmudah di sini adalah bid’ah secara bahasa dan bukan secara istilah syar’i.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131)

Ibnu Taimiyah r.a menjelaskan maksud perkataan Imam Syafi’i. Beliau berkata: “Apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi dalil, maka tidak disebut bid’ah. Imam Syafi’i berkata bahwa bid’ah itu ada dua macam, yaitu yang menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah, atsar dari berbagai sahabat Rasulullah SAW, dan ijma’. Bid’ah yang seperti itu termasuk bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan jika tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka termasuk bid’ah mahmudah. Karena Umar bin Khotob berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”(pada saat menghidupkan sholat tarawih secara berjama’ah. Perkataan semacam ini dan semisalnya dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih.”(Majmu’ Al Fatwa, 20: 163)

Imam Syafi’i bukanlah orang yang mudah melegalkan bid’ah. Beliau merupakan orang yang paling semangat dalam ittiba’ atau mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. Dan beliau juga adalah orang yang sangat keras pada orang yang membantah sabda Rasulullah SAW. Bahkan beliau diberi gelar oleh penduduk Baghdad Nashirus Sunnah yang artinya pembela sunnah.
Imam Syafi’i menuturkan tentang keutamaan orang yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. Beliau berkata:
“Barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi karena kecintaan (ikhwanan) secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin”. (Kitab Madarijus Su’uud hal. 16, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh An-Nawawiy Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz)

Namun sebagai sebuah mazhab besar, tidak ada pernyataan resmi dari mazhab As-Syafi'i bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tiap tahun sebagai sebuah kewajiban yang harus dijalankan secara rutin.Kita tidak akan menemukan di dalam kitab-kitab fiqih As-Syafi'iyah yang induk dan muktabar lafadz yang menyebutkan bahwa: peringatan maulid nabi hukumnya wajib atau sunnah serta harus selalu dirayakan setiap tahun oleh orang beriman.
Bukan berarti yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW pasti merupakan bid’ah yang sesat. Tatkala Umar bin Khotob mengusulkan pengumpulan dan pembukuan Al-Quran, Khalifah Abu Bakar khawatir karena Rasulullah SAW tidak mengerjakannya. Namun Umar bin Khotob berhasil menyakinkan Khalifah Abu Bakar dengan alasan bahwa itu merupakan perbuatan baik yang tidak bertentangan sengan syari’at. Ibnu Hajar Asqalany menyebutkan pembukuan Al-Qur’an oleh Khalifah Abu Bakar masuk dalam bab membuat sunnah hasanah (tradisi yang baik) sesuai hadits Rasulullah SAW.
“Siapa saja yang membuat suatu tradisi yang baik (tidak bertentangan dengan syari’at) maka dia mendapatkan pahala dan pahala orang yang mengerjakannya.”  



Sistem Pendidikan Nasional Berdasarkan Pancasila Dan Budaya dalam Upaya Membangun Generasi Muda Yang Berkarakter Dan Berintergritas Tinggi



Pendidikan Character


A.    Pengertian  Karakter Bangsa dan integritas
1.     Pengertian karakter bangsa
Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang memebedakan seseorang dari yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai- nilai yang unik baik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa, dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang.

Karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang.

2.     Integritas
Pribadi yang berintegritas adalah seseorang yang mempunyai pendirian dan memegang prinsip. Makna integritas itu sendiri adalah satunya kata dengan perbuatan. Ia tidak akan melakukan sesuatu yang tidak diucapkannya. Perkataannya selalu memiliki nilai tambah. Ia tidak akan mengenakan sesuatu barang atau apapun yang berharga mahal dan mewah apabila ia mengucapkan bahwa ia ingin hidup sederhana. Ia tidak sembarangan dalam mengutarakan pendapatnya. Segala sesuatunya selalu dipertimbangkan dengan pemikiran dan kebijaksanaan yang matang. 

Orang yang berintegritas adalah orang yang sudah memiliki kepribadian secara utuh. Ia menyadari kebutuhan sesuai dengan proporsinya. Ia selalu mampu mengendalikan diri dan berada dalam kecukupan serta tidak pernah berkekurangan atau berkelebihan. Ia memiliki konsep citra diri yang jelas dan mendapatkan kepribadian utuh melalui proses pembelajaran dari pengalaman hidup yang dilaluinya. Ia tidak perlu menempuh pendidikan kepribadian ala barat yang banyak berkembang dewasa ini. 

Orang yang berintegritas adalah pribadi matang yang berorientasi pada proses, bukan pada hasil semata. Ia meyakini bahwa bila ia melaksanakan sesuatu sesuai dengan tahapan yang benar dengan cara sebaik-baiknya, maka hasil yang akan diperoleh pasti akan baik pula. Sebaliknya bila ia mengerjakan kegiatan dengan proses yang buruk, maka hasilnya juga akan buruk pula. Ia tidak akan tergiur untuk memperoleh hasil yang banyak dengan cara yang cepat dan tergesa-gesa. 

B.    Pengertian pendidikan karakter berdasarkan Pancasila
Pembangunan karakter bangsa merupakan gagasan besar yang dicetuskan oleh para ahli pendiri bangsa karena negara Indonesia adalah negara dengan bangsa yang dibangun di atas keragaman dan perbedaan, yaitu perbedaan suku, agama, ras, etnis, budaya ,bahasa dan lain-lain. Maka dari itu, bangsa Indonesia membutuhkan kesamaan pandangan tentang budaya dan karakter holistik sebagai bangsa. Hal itu menyangkut kesamaan pemahaman, pandangan, dan gerak langkah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Pembangunan karakter bangsa adalah upaya kolektif – sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang bekeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong – royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pembangunan karakter bangsa bertujuan untuk membina dan mengembangkan karakter warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Karakter yang berlandaskan Pancasila artinya setiap aspek karakter harus dijiwai ke 5 sila Pancasila secara utuh dan komprehensif yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.      Bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Karakter ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seseorang tercermin antara lain :
1)     Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2)     Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan pemeluk-pemeluk kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
3)     Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
4)     Tidak memaksa suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
5)     Menolak kepercayaan atheisme di Indonesia.

b.     Bangsa yang menjunjung kemanusiaan yang adil dan beradab.
1)     Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban antara sesama manusia.
2)     Saling mencintai sesama manusia.
3)     Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4)     Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5)     Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
6)     Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7)     Berani membela kebenaran dan keadilan.
8)     Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.

c.      Bangsa yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa
1)     Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
2)     Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
3)     Cinta tanah air dan bangsa.
4)     Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
5)     Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

d.     Bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia.
1)     Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
2)     Tidak memaksa kehendaknya sendiri kepada orang lain.
3)     Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4)     Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5)     Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
6)     Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
7)     Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha, menjunjung tinggi harkat dan martabat serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

e.      Bangsa yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan .
1)     Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan bergotong-royong.
2)     Bersikap riil.
3)     Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4)     Menghormati hak-hak orang lain.
5)     Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
6)     Menjauhi sikap pemerasan kepada orang lain.
7)     Tidak bersifat boros.
8)     Tidak bergaya hidup mewah.
9)     Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
10) Suka bekerja keras.
11) Menghargai hasil karya orang lain.
12) Bersama- sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Melalui pendidikan karakter bangsa berdasarkan Pancasila diharapkan mampu melahirkan generasi muda yang berkarakter dan berintergritas sehingga mampu memahami, menganalisis, dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten berdasarkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.
C.    Pengabaian Pendidikan Karakter Menunggu Runtuhnya Peradaban Bangsa
Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 Pasal 1 Ayat 2 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada Pada Pancasila dan UUD.

Namun dalam praktiknya dunia pendidikan Indonesia terlihat kehilangan arah. Pendidikan hanya dimaknai sebagai teknik manajerial persekolahan yang hanya menitik beratkan pada kemampuan kognitif dan meminggirkan pendidikan karakter bangsa.

Pendidikan yang ada saat ini terlihat justru mengagung-agungkan konsep pendidikan barat, padahal konsep pendidikan barat cenderung eksploitatif dan mendidik manusia yang individualis yang tentunya tidak pas dengan karakter bangsa kita.

Indikator yang digunakan pun cenderung menggunakan indikator kepintaran , sementara pendidikan karakter untuk menghasilkan siswa yang berbudi luhur telah diabaikan. Sebagian pelaku pendidikan merasa berhasil apabila anak didiknya memperoleh nilai akademis yang tinggi ,cepat terserap di dunia kerja dan memenangkan berbagai kompetisi meskipun minim rasa kepekaan sosial, tepa slira, dan kebangsaan. Padahal esensi pendidikan lebih jauh dari itu. Pendidikan adalah upaya pembangunan peradaban bangsa, mencetak manusia Indonesia yang berkarakter Pancasila.

Ukuran keberhasilan pendidikan lebih diletakkan pada menjawab soal-soal ujian dan target-target perolehan nilai, bukan pada indikator pengembangan karakter anak. Sehingga pada akhirnya kita mendapati banyaknya anak-anak yang mendapat nilai tinggi namun moralnya justru begitu rendah.

Sesungguhnya jauh lebih penting mengajarkan anak nilai kejujuran dari pada nilai matematika, fisika, dan sejenisnya yang pada umumnya telah membuat anak kita stress dan mulai membenci sekolah. Sungguh jauh lebih penting mengajarkan kepada mereka tentang kerjasama dan saling tolong menolong daripada persaingan merebut posisi juara di kelas. Sekolah kita hanya mampu membuat 3 anak sebagai juara daripada membuat mereka semua sebagai juara. Sekolah kita tanpa sadar telah dirancang untuk mencetak anak yang gagal jauh lebih banyak daripada yang berhasil. Sekolah kita juga telah dirancang untuk lebih banyak memberi label anak yang bermasalah ketimbang memberi label anak yang berpotensi unggul dibidangnya.

Pernakah anda berfikir untuk menyekolahkan anak anda semata-mata hanya untuk mendapatkan nilai 9 di raport? Kemudian diakhir sekolah dia menjadi penganguran sedangkan yang mendapat nilai 5 di raport malah akhirnya menjadi seseorang yang sukses dan terkenal. Disini perlu diperhatikan tujuan kita untuk sekolah. Sekolah sebagai sarana dan tempat untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan yang akan membuat kita mengenal, tahu, dan bisa melakukan hal-hal yang baru dengan cara yang cerdas dan efisien. Tidak sekedar membina dan mendidik para siswanya untuk menghadapi Ujian Nasional. Ujian yang akan mempertaruhkan 3 tahun pembelajaran dan jerih payah siswa.

Sistem pendidikan nasional kita sekarang ini masih mengedepankan pada pencapaian bebasis nilai bukan pada ketrampilan dan kompetensi. Sehingga kita tidak  perlu bertanya dan bingung mengapa banyak sarjana yang menganggur, peserta olimpiade fisika yang tidak lulus Ujian Nasional dan banyak lagi hal-hal yang menggelikan dari sistem pendidikan ini.

Berdasarkan penelitian seorang pakar terdapat 10 tanda-tanda dari suatu bangsa yang akan mengalami kemunduran dan bahkan kehancuran. Jika ternyata ke sepuluh tanda ini muncul di negara kita maka sudah saatnya kita untuk melakukan perubahan besar-besaran terhadap sistem pendidikan bagi anak-anak kita. Berikut adalah kesepuluh tanda-tanda tersebut :
1.     Meningkatnya perilaku kekerasan dan merusak di kalangan remaja atau pelajar.
2.     Penggunaan kata-kata bahasa yang cenderung memburuk ,seperti ejekan, bahasa slank, dll.
3.     Pengaruh teman lebih kuat daripada orang tua dan guru.
4.     Meningkatnya perilaku sex bebas, merokok, dan obat-obatan terlarang dikalangan remaja atau pelajar.
5.     Merosotnya perilaku moral dan meningkatnya egoisme pribadi.
6.     Menurunnya jiwa Patriotisme.
7.     Rendahnya rasa hormat kepada orang yang lebih tua .Contoh : orang tua, guru, dll.
8.     Meningkatnya perilaku merusak fasilitas umum.
9.     Ketidakjujuran terjadi dimana-mana.
10.  Berkembang perilaku rasa saling curiga, membenci, dan memusuhi di antara sesama warga negara(kekerasan SARA).

D.    Keberhasilan pendidikan karakter di negara-negara maju
Berikut adalah potret keberhasilan pendidikan karakter di negara- negara maju.
1.     Singapura
Singapura merdeka pada tahun 1965 melalui proses penyerahan kekuasaan (Hand Over) oleh Inggris. Pada masa-masa awal kemerdekaannya Singapura melalui proses pembentukan karakter kebangsaannya dipandu oleh pemimpinnya bernama Lee Kwan Yew. Bangsa Singapura dibimbing untuk bekerja keras dan menyikapi keadaan dengan positif. Lee Kwan Yew setiap hari membagikan kartu-kartu pos (Post Card) bergambar pemandangan kota di negara Swiss yang bersih kepada penduduk Singapura. Ternyata Lee Kwan Yew mencoba untuk membentuk karakter penduduk Singapura dengan memberi contoh visual yang mudah mereka pahami. Dengan cara demikian, penduduk Singapura menjadi lebih mencintai kebersihan dan menerapkan perilaku kehidupan yang bersih dan disiplin.

Saat ini kita mengenal bangsa Singapura sebagai bangsa yang tangguh, beretos kerja tinggi, disiplin, dan selalu menjaga kebersihan. Negara Singapura juga sudah tumbuh ekonominya menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar di lingkungan Asia Pasifik. Kemajuan bangsa Singapura juga bisa dilihat dari perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih. 

Kondisi Singapura yang semakin maju dewasa ini membuktikan bahwa kualitas SDM jauh lebih penting daripada kekayaan Sumber Daya Alam (SDA), karena dari aspek SDA justru Singapura tidak memiliki banyak potensi yang dapat dieksplorasi.

2.     Jepang
Sejak kelas SD anak jepang sudah dicekoki dengan motto "negerimu ini miskin karena banyak memliki batu dan air saja". Motto ini membentuk jiwa anak jepang menjadi keras dan pantang menyerah sehingga mereka harus   belajar dan berusaha keraas  sejak kecil agar mereka tidak miskin. Tidak ada dalam benak mereka negeri "gemah ripah loh jinawi" tanah air kaya raya, nyiur melambai, kolam susu, dan dongeng-dongeng negerinya dimasa lalu.

Prinsip ini tertanam sejak kecil sehingga mereka terus berusaha, tidak malas, rasional, disiplin dan sifat-sifat lain yang penuh tantangan sehingga mereka menjadi bangsa yang aktif, dinamis, optimis, dan ofensif. Prinsip-prinsip hidup dan keberhasilan mereka dalam membangun bangsanya bukanya tidak membawa masalah karena sifat yang aktif dan ofensif yang ditunjang oleh nasionalisme berlebihan menyeret mereka keperang dunia ke II.

Jepang sekarang merupakan satu-satunya negara Asia yang berpredikat negara maju. Semuanya ini sebagai produk sistem pendidikannya yang ketat. Sementara pola hidup mereka yang "konsumtif" merupakan akibat keberhasilan ekonominya. Jepang sudah mencapai pembangunan ekonomi, tinggal landas sudah lama dilaluinya yakni pada saat pemerintahan meiji diakhir abad ke-19.

Pengamat asing mengatakan bahwa segala kemajuan yang ada pada jepang terjadi akibat pengaruh luar yang masuk, teristimewa modernisasi dari barat yang mencangkup hampir disemua  bidang kehidupan. Menurut tokoh pendidikan AS kunci keberhasilan siswa jepang terletak pada
 peranan orang tua murid yang sangat aktif.

3.     Cina
Petersen (1966) dalam artikel “success story” menulis tentang keberhasilan pendidikan dan ekonomi Cina dan Jepang sebagai bangsa yang suka bekerja keras dan jarang mengeluh, kemudian di rumah, orang tua, menjadi model atau uswatun hasanah bagi anak- anak mereka. Menjadi model atau figure bagi anggota keluarga maka mereka harus rajin dan berprestasi. Chao (1996) mengatakan bahwa anak- anak Cina mampu menjadi siswa yang terbaik dengan bakat khusus- memenangkan kompetisi olimpiade, computer, robot, juara bulu tangkis tingkat dunia, atau menonjol dalam bidang sains dan tekhnologi. Keberhasilan mereka dalam bidang tersebut tentu karena dukungan budaya dan keluarga. Budaya yang mereka miliki adalah budaya senang bekerja keras dan belajar penuh semangat. Dalam mencari rezki, orang Cina punya moto- jangan biarkan reski dimakan oleh ayam terlebih dahulu (maksudnya jangan suka bangun kesiangan) dan “beri aku ikan maka aku makan satu kali, tapi beri aku kail- ajari aku memancing- maka aku makan ikan selamanya”. Dalam konteks ini WNI keturunan mengajar anak-anak mereka agar memiliki keterampilan hidup dan tidak meminta rezki atau belas kasih dari pihak famili atau orang lain.

4.     Amerika Serikat
Di Amerika Serikat sendiri, pendidikan karakter, yang juga dikenal dengan istilahcharacter-based education kembali mengedepankan nilai-nilai karakter moral pada anak pendidikan usia dini. Anak-anak dibiasakan mengucapkan 3 kata ajaib: tolong, terima kasih, maaf. Kesalahan sistem pendidikan sebelumnya di bawah mantan presiden George W. Bush, yang mementingkan sistem ujian sebagai standar keberhasilan performance siswa, ternyata tidaklah menjamin mutu kecerdasan kognitif para siswa Amerika. Para pemegang kebijakan pendidikan di Amerika harus menerima kenyataan bahwa rangking para siswa sekolah di Amerika hanya menduduki peringkat ke-17 di bidang matematika, membaca, dan science dalam tes internasional PISA bagi siswa kelompok usia 15 tahun. Sedangkan siswa-siswa Finlandia yang dididik oleh para guru yang memiliki karakter kuat sebagai positive role model mampu mendorong siswa-siswanya untuk berpikir kreatif dan berhasil gemilang mencapai prestasi rata-rata tertinggi selama 3 tahun berturut-turut, di tahun 2003, 2006, dan 2009.

Ilustrasi ini menjadi refleksi bagi bangsa Indonesia yang memperoleh kemerdekaan dengan perjuangan bersenjata dan memiliki karunia Tuhan berupa kekayaan SDA yang melimpah namun sampai saat ini kita belum mampu bangkit menjadi kekuatan ekonomi yang maju sebagaimana Singapura, Jepang, Cina dan negara-negara maju lainnya.
Karakter dan budaya yang dimiliki suatu bangsa menentukan kemajuan bangsa tersebut. Berikut terdapat ciri-ciri karakter dalam sebuah negara maju, yaitu :
1.     Hubungan dan tingkat saling percaya baik disertai nilai dan sikap positif, optimis serta saling mendukung.
2.     Sistem dan etika hukum jelas dan dipatuhi.
3.     Kewenangan adalah bertujuan untuk melayani masyarakat ( pejabat hidup sederhana dan setara dengan rakyat ).
4.     Mampu bekerja keras dan memiliki sikap mulia, serta mampu memberikan rasa kebahagiaan.
5.     Memiliki orientasi untuk membuat hidup terencana dalam jangka waktu yang panjang.

E.    Membangun Karakter Bangsa Dengan Berdasarkan Pancasila
1.     Keberhasilan pola pendidikan karakter di pesantren
Pendidikan karakter yang harus menjadi belahan mata uang dari pendidikan sains tidaklah cukup dengan hanya mentransmisikan nilai-nilai budi pekerti ( Akhlak ) dan norma-norma keagamaan, tetapi memerlukan suatu proses pendidikan yang mencakup penghayatan, pelatihan ( drilling ) dan pembiasaan. Dan ini hanya dapat dilaksanakan dalam system pendidikan kampus yang terpadu ( Boarding School ) dan mengarah kepada pembinaan kepribadian seutuhnya ( Integrated personality ) . Proses pendidikan terpadu demikian ini dapat dilaksanakan oleh lembaga pendidikan pesantren , dan lebih dari itu hanya dengan sistem pendidikan pesantren dapat dilaksanakan pendidikan karakter yang berakar kepada keyakinan hidup dan keagamaan yang tidak akan tergoyahkan oleh arus perubahan nilai-nilai sosial budaya yang dihembuskan oleh era globalisasi.

Pendidikan karakter di pesantren dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan dikarenakan pendidikan pesantren melandaskan pendidikannya pada “ Uswatun hasanah “ yang dilakukan oleh seluruh tenaga pendidik nya, sehingga dengan mudahnya para santri meniru dan mempraktekkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu perlu juga di ketahui bahwa pendidikan di pesantren adalah pendidikan dan pembinaan keutuhan kepribadian yang meliputi :
a.  Aspek Kognitif yakni pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan    yang luas   dan mendalam , sebagai penjabaran dari sifat Rasul Fathanah.
b. Aspek Afektif yakni pembinaan sikap mental ( mental attitude ) yang mantap dan matang sebagai penjabaran dari sifat Rasul Amanah.
c. Aspek Psikomotorik yakni pembinaan tingkah laku ( behaviour ) dengan akhlak yang mulia, sebagai penjabaran dari sifat Rasul Shidiq.
d. Aspek Konatif yakni pembinaan keterampilan ( skill ) kepemimpinan yang terlatih dan bijaksana sebagai penjabaran dari sifat Rasul Tabligh.

Hal ini dilakukan untuk dapat memberikan idealisme dan kemampuan-kemampuan kepada seluruh santri untuk mewujudkan masyarakat yang Hayatan Thayyibah ( kehidupan yang sejahtera ) sebagai cita-cita dan tugas darma baktinya kepada masyarakat setelah menyelesaikan masa studinya , dan nilai-nilai Hayatan Thayyibah ( kehidupan yang sejahtera ) itu sudah diaplikasikan dalam kehidupan para anak didik di kampus pesantren.

Kehidupan yang sejahtera itu adalah kehidupan yang memiliki 2 dimensi yaitu “ la khaufun alaihim “ yaitu kehidupan yang bersatu , aman, damai, tertib, bersih dan berakhlak mulia , bebas dari segala kekhawatiran dan ketakutan.
Sedangkan dimensi yang kedua adalah “ walaahum yahzanuun “ yaitu kehidupan yang mandiri, produktif , adil dan makmur, bebas dari segala keprihatinan oleh serba kekurangan, kelemahan dan ketergantungan karena kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya.

Maka tidaklah heran kalau banyak orang-orang sukses yang berawal dari pendidikan pesantren , dari mulai tingkat yang paling bawah sampai tingkat yang paling tinggi , ada yang menjadi pengusaha , ada yang menjadi pejabat, ada yang menjadi kepala sekolah, ada yang menjadi birokrat , ada yang menjadi wartawan, ada yang menjadi pimpinan pesantren , banyak yang menjadi guru ngaji dan lain sebagainya, karena memang para santri dididik dan di persiapkan dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada kemandirian tidak bergantung kepada orang lain.

Pesantren memduduki posisi yang unik dalam pendidikan di Indonesia. Salah satu hal unik yang mendapat banyak pujian adalah keberhasilannya dalam menanamkan pendidikan karakter. Sehingga tidaklah mengherankan jika dalam beberapa tahun terakhir ini banyak pakar pendidikan tertarik mengadopsi pola pendidikan pesantren ke dalam pendidikan umum (SD, SMP, perguruan tinggi).

2.     Peran Pedidik dan Generasi Muda Dalam Membangun Karakter Bangsa

a.      Pendidik
Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values education) melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan. Bahkan, kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan kontekstual bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis watak seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara maju sekalipun (cf. Fraenkel 1977: Kirschenbaum & Simon 1974).

Usaha pembentukan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama, menerapkan pendekatan “modelling” atau “exemplary” atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.
Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan character-based approach ke dalam setiap mata pelajaran nilai yang ada di samping matapelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan karakter, seperti pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), sejarah, Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik terhadap matapelajaran-matapelajaran terakhir ini, perlu dilakukan reorientasi baik dari segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan kembali karakter dan jatidiri bangsa.
b.     Generasi muda
Berikut adalah 3 peran penting generasi muda dalam membangun karakter bangsa :
1)     Generasi muda sebagai pembangun kembali karakter bangsa (character builder).
Di era globalisasi ini, peran generasi muda adalah membangun kembali karakter positif bangsa seperti misalnya meningkatkan dan melestarikan karakter bangsa yang positif sehingga pembangunan kemandirian bangsa sesuai dengan Pancasila dapat tercapai sekaligus dapat bertahan ditengah hantaman globalisasi.

2)     Generasi muda sebagai pemberdaya karakter (character enabler).
Pembangunan kembali karakter bangsa tentu tidak cukup, jika tidak dilakukan pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga generasi muda juga dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character enabler. Misalnya dengan kemauan yang kuat dan semangat juang dari generasi muda untuk menjadi role model dari pengembangan dan pembangunan karakter bangsa Indonesia yang positif di masa depan agar menjadi bangsa yang mandiri.

3)     Generasi muda sebagi perekayasa karakter (character engineer)
Sejalan dengan dibutuhkannya adaptifitas daya saing generasi muda untuk memperkuat ketahanan bangsa Indonesia. Character engineer menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran. Pembangunan dan pengembangan karakter positif generasi muda bangsa juga menuntut adanya modifikasi dan rekayasa dengan  yang sesuai dengan perkembangan dunia. Contohnya adalah karakter pejuang dan patriotisme yang tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik, tetapi dapat dalam konteks lainnya yang  bersifat non fisik. Esensinya adalah peran generasi muda dalam pemberdayaan karakter tersebut.