Pages

Rabu, 29 Juni 2016

Merbabu Si Abu-Abu

Ada beberapa versi cerita asal muasal nama Merbabu. Ada yang bilang Merbabu berasal dari kata meru (gunung) dan babu (wanita) yang artinya gunung wanita. Versi lain mengatakan Merbabu berasal dari kata meru (gunung) dan abu (abu) yang artinya gunung yang berwarna abu-abu / gunung yang berselimut abu. Ini adalah pendapat yang banyak dipercaya oleh masyarakat. Memang jika dilihat dari kejauhan Gunung Merbabu tampak berwarna abu-abu.

            Gunung Merbabu merupakan gunung berapi yang sudah tidak aktif. Tercatat terakhir meletus pada tahun 1797. Merbabu berada di empat wilayah yaitu, barat Kabupaten Magelang, timur Kabupaten Boyolali, selatan Kota Salatiga, dan utara Kabupaten Semarang. Gunung ini berketinggian 3142 mdpl. Gunung ini bisa didaki lewat beberapa jalur yaitu, jalur Thekelan, Cunthel, Suwanting, Wekas, Selo, dll. Pada kali ini saya akan menceritakan tentang pengalaman saya mendaki Gunung Merbabu via Cunthel bersama teman-teman.

            Kami memulai perjalanan dari Kota Semarang. Dari sini menuju basecamp pendakian kami memilih untuk menggunakan transportasi umum. Kami menumpang mini bus jurusan Semarang-Salatiga bertarif Rp. 10000. Tiba di Kota Salatiga kami turun di Pasar Sapi. Lalu menumpang lagi angkot jurusan Salatiga-Kopeng bertarif Rp. 5000. Kemudian kami turun di Jalan Umbul Songo. Dari sini tidak ada angkutan umum yang mengantar kami menuju basecamp. Untung saja ada teman kami, penduduk asli, berbaik hati mengantar kami menuju basecamp.

            Basecamp yang kami tuju terletak di Dusun Cunthel Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Bangunan basecamp berada di kiri jalan tepat sebelum masuk area perkampungan. Di basecamp ini semua pendaki wajib mengisi data diri dan membayar karcis sebesar Rp. 15.000. Terdapat tempat parkir yang cukup luas di sini sehingga bagi pengunjung yang membawa mobil tidak perlu khawatir. Terdapat juga counter yang menyediakan aneka souvenir seperti gantungan kunci, stiker, dan kaos.
 
Basecamp Manggala Cunthel
             Kami bertujuh mulai mendaki pukul 10.30. Menurut petugas di basecamp, pendakian biasanya memakan waktu 8 jam dari basecamp sampai ke puncak dan bisa lebih untuk pendaki pemula. Terdapat 2 pos bayangan dan 3 pos utama yang harus dilewati. Biasanya para pendaki mendirikan tenda di pos 3, di Puncak Menara, atau di Puncak Syarif. Kami berharap agar bisa sampai di camping ground sebelum matahari tenggelam sebab berbahaya jika melakukan pendakian di malam hari dengan kapasitas kami sebagai pendaki pemula.

            Setiap pos ditandai dengan plang hijau berisi infomasi nama pos, ketinggian, dan jarak ke pos selanjutnya. Di pos bayangan 1 terdapat bangunan gazebo permanen kira-kira berukuran 3x3. Cocok dijadikan tempat berteduh jika sedang hujan. Di pos bayangan 2 tidak terdapat bangunan seperti sebelumnya. Namun, di sini ada sumber mata air. Biasanya para pendaki beristirahat di sini sambil mengisi air untuk bekal. Di pos 1 terdapat beberapa bongkahan batu besar. Oleh sebab itu, pos ini dinamakan Pos Watu Putut. Selanjutnya di pos 2, tanah di sini lumayan datar. Cukup untuk mendirikan 1 atau 2 tenda. Pos ini dinamakan Pos Kedokan. Di pos ini kami sudah berada di ketinggian 2430 mdpl. Pos terakhir adalah Pos Kergo Pasar. Tanah di pos ini datar dan sangat lapang. Para pendaki biasanya mulai mendirikan tenda di pos ini. Di pos ini juga Gunung Andong, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran bisa disaksikan keindahannya.
 
Pos 2 Kedokan

                        Perjalanan dari pos 3 ke Puncak Menara adalah perjalanan terberat dibanding dengan perjalanan menuju pos-pos sebelumnya. Trek menanjak hampir 30 %. Di sekitar trek pepohonan dan semak-semak sudah mulai jarang sehingga jika jatuh bisa berbahaya. Saking lelahnya kami lama kelamaan berjalan merangkak dan terpleset. Sesekali kami menengok ke belakang untuk melihat pemandangan Gunung Andong, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Beruntung sekali pada sore itu kabut sedang bersahabat sehingga kami dapat melihat pemandangan dengan jelas. Semburat kuning sinar matahari tenggelam menambah keindahan pemandangan sore itu. Perlahan tapi pasti matahari tenggelam ufuk barat. Begitu juga dengan perjalanan ini perlahan tapi pasti akan sampai pada tujuan.
Gunung Andong, Telomoyo, dan Ungaran


            Pukul 19.00 kami tiba di puncak yang terdapat menara pemancar di situ atau biasa disebut Puncak Menara. Di sini kami berada di ketinggian 2847 mdpl. Banyak sekali pendaki yang mendirikan tenda di sini. Untuk lewat saja kami harus berhati-hati agar tidak tersandung tali tenda. Kami beruntung masih ada tempat untuk mendirikan satu tenda. Malam ini Merbabu sedang diserbu ratusan pendaki karena malam ini adalah malam terakhir di bulan Desember. Para pendaki berombongan ada juga yang sendiri ingin menikmati perayaan pergantian tahun di atas awan. Kelap-kelip lampu kota bagaikan bintang-bintang bertaburan di muka bumi. Itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan pemandangan di bawah. Sesekali kembang api menyala dari bawah. Terlihat sangat kecil sekali. Namun, suaranya terdengar sampai di sini.

            Semakin malam udara semakin dingin. Semakin malam angin berhembus semakin kencang menghantam tenda dari kanan dan kiri. Syukur Alhamdullilah tenda kami masih berdiri sampai pagi.

            Sebelum fajar para pendaki memulai perjalanan lagi menuju puncak tertinggi yaitu Puncak Kenteng Songo. Menurut salah satu pendaki, matahari terbit tidak akan terlihat jika kita berada di Puncak Menara sehingga harus melanjutkan perjalanan sebelum fajar.

            Pemandangan pagi di Puncak Menara sangat indah. Matahari tebit dari sebelah timur. Keindahannya tidak bisa kami nikmati seutuhnya karena terhalang puncak-puncak Merbabu. Hanya terlihat sinarnya saja dari sini. Gumpalan awan bagai kapas muncul secara bersamaan. Indah sekali. Dihiasi dengan warna kuning keemasan gumpalan awan tersebut seperti jalan menuju nirwana. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan kami langsung mengeluarkan kamera dan mengabadikan momen berharga ini.
Samudra Awan

            Saat hari benar-benar terang sekitar pukul 07.00 kami melanjutkan perjalanan. Trek berupa bebatuan. Kanan kiri jurang. Kadang menuruni bebatuan. Kadang menaiki bebatuan. Tiba di persimpangan jalan terdapat plang petunjuk arah. Plang tersebut menunjukkan bahwa jalan ke puncak lurus ke depan. Di persimpangan itu kami bertemu dengan salah seorang pendaki. Menurut penuturannya, jalan ke puncak bisa ambil jalur yang sebelah kiri. Jika lewat jalur ini tidak akan melewati Jembatan Setan yang menjadi momokku sejak awal. Kami menurut saja.

            Awalnya trek menurun berupa bebatuan. Setelah itu kami melewati area seperti kawah yang sudah mati. Bau belerang sangat menyengat. Lalu kami melewati sumber mata air. Di sini banyak pendaki yang sedang mengisi botol-botol minumannya. Kami berjalan lurus. Kemudian naik melewati trek berupa tanah. Dan akhirnya kami mencapai trek mendatar. Kami berjalan lurus ke arah kanan. Semakin maju hatiku semakin ragu bahwa jalan ini akan membawa kami menuju puncak Kenteng Songo. Pasalnya semakin maju jalan semakin sempit bahkan hanya cukup untuk dilewati satu telapak kaki. Kami juga tidak berpapasan dengan pendakian lain. Sepertinya jalan ini jarang dilintasi.

            Tiba-tiba dari arah barat kami mendengar suara orang berteriak menanyakan kami mau kemana. Kami menjawab kami ingin ke puncak Kenteng Songo. Orang tersebut meminta kami untuk berbalik arah karena jalan yang kami lewati salah. Sesampainya di persimpangan awal kami bertemu dengan pemilik suara tadi. Ternyata beliau adalah petugas yang bertanggung jawab mengawasi para pendaki di area puncak. Beliau berkata bahwa jalan yang kami lewati tadi adalah jalur pendakian ritual. Jalur tersebut merupakan jalur khusus untuk melakukan ritual di Gunung Merbabu. Jadi bukan kapasitas kami untuk melewati jalur tersebut. Jika diteruskan bukan puncak yang akan kami dapati tetapi kesasar dan bisa saja tidak bisa pulang.

            Dengan alasan keamanan para pendaki dilarang berada di puncak kenteng songo lebih dari jam 10. Maka dari itu kami memutuskan untuk kembali ke tenda saja. Jika kami memaksa untuk melanjutkan perjalanan tentu waktunya tidak akan cukup mengingat jarak yang masih jauh dan waktu yang terbatas. Pelajaran yang dapat diambil dari kejadian ini adalah ikutilah jalur resmi sesuai petunjuk dan jangan bersikap sembrono.

            Setibanya di tenda kami berkemas. Penjalanan turun lebih cepat daripada saat naik. Sesampainya di basecamp kami melapor kembali kepada petugas. Di sekitar basecamp ada beberapa penjual jajanan keliling seperti bakso kuah. Suasana dingin seperti ini memang cocok makan makanan yang hangat dan berkuah.


            Pendakian di Gunung Merbabu memberi kenangan indah dan pengalaman berharga. Walaupun belum mencapai puncak tertinggi hal itu tak mengurangi rasa syukur kami. Kami bersyukur bisa kembali ke rumah dengan selamat sehingga bisa melakukan perjalanan lagi menjelajah bumi nusantara yang indah. Terima kasih Tuhan yang telah memberi kami kesempatan menyaksikan dan mengagumi keindahan ciptaanmu.