Pages

Jumat, 01 Juli 2016

Lari Pagi di Desa Durian

Desa Brongkol Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang memang layak diberi julukan Desa Durian. Ratusan bahkan ribuan pohon durian tumbuh di sini. Soal rasa jangan ragukan lagi. Manisnya legitnya aromanya hmmm sangat menggoda. Ini bukan omong kosong. Durian Kendil, Kopek, Sukun, Kenteng, Mentega, Tumbu, Moho, dan Vera adalah sederet nama durian asli desa ini yang telah berhasil menjuarai lomba durian di berbagai festival durian dari tingkat daerah sampai nasional.

Bak lukisan anak-anak SD. Itulah perumpamaan yang pas untuk menggambarkan lokasi ini. Jalan lurus berujung di kaki gunung, hamparan sawah di kanan dan kiri jalan, dan ditambah dengan matahari terbit yang sedang tersenyum. Itulah gambar pemandangan alam yang umum di lukis oleh anak-anak. Di sini Anda dapat menyaksikan versi nyata dari gambar tersebut.

Terlepas dari buah durian. Ketika berada di desa ini pernahkah Anda melewati sebuah jalan panjang dan lurus yang menghubungkan dua desa? Jalan ini menghubungkan dua desa yaitu, Desa Brongkol dan Desa Jambu. Pemandangan alam dan udara sejuk khas pedesaan adalah hal yang menarik dari tempat ini. Dijamin akan menyegarkan mata dan paru-paru Anda.

Di sebelah selatan, jalan ini berujung di kaki Gunung Kelir dimana Desa Brongkol berada. Sebaliknya di sebelah utara, jalan ini berujung di Desa Jambu. Jika cuacanya sangat cerah Anda dapat melihat puncak Gunung Ungaran dari arah ini. Di sebelah timur dan barat terdapat lahan persawahan yang sangat luas.

Pagi di hari minggu jalan ini menjadi lebih ramai dari biasanya. Jalan ini digunakan oleh masyarakat untuk bersepeda santai, lari pagi, jalan-jalan, dan berfoto selfi. Karena berada di area persawahan angin di sini berhembus kencang. Perpaduan sinar hangat matahari pagi dan hembusan angin yang sejuk dijamin membuat Anda betah di sini.
berfoto di jalan yang menghubungkan Desa Brongkol dan Desa Jambu
Sepulang dari lari pagi Anda dapat membeli sarapan di Pasar Brongkol. Terdapat aneka makanan dijual di sini seperti, gorengan, gemblong, bubur, dan lauk pauk ala rumahan. Harganya murah meriah. Bubur hangat dengan porsi sedang bisa dinikmati dengan membayar 3000 rupiah saja.

Lokasi ini dapat dijangkau dari Ambarawa dan Salatiga. Tidak ada kendaraan umum yang akan mengantar Anda tepat di lokasi ini sehingga disarankan untuk menggunakan kendaraan pribadi. Dari Ambarawa Anda harus menuju ke arah Banyubiru. Setelah kurang lebih 5 km Anda akan menemukan sebuah pertigaan dimana di situ terdapat sebuah mini market. Ambil jalan ke kanan dan jalan terus sampai Anda tiba di perempatan besar dimana di situ terdapat pasar tradisional. Lalu ambil jalan ke kanan. Anda akan memasuki area perkampungan. Sampailah Anda di tempat tujuan. Jika Anda dari arah Kota Salatiga Anda harus menuju ke arah Banyubiru. Setelah melewati Akademi Kepolisian di kanan jalan Anda akan menemukan pertigaan besar. Jalan terus sampai Anda menemukan pertigaan selanjutnya dimana di situ terdapat sebuah mini market. Lalu lanjutkan seperti petunjuk di atas.


Lokasi ini bukanlah tempat wisata. Jadi Anda tidak akan dipungut biaya untuk masuk alias gratis. Anda cukup membayarnya dengan bersikap sopan dan menjaga kebersihan selama di lokasi. Jangan sampai bungkus-bungkus makanan bekal Anda berserakan dan terbawa angin sehingga mengotori sawah milik warga. Jangan menyepelekan walau hanya bungkus permen. Dan jangan lupa siapkan ekspresi selfie terbaik Anda. Selamat mencoba. 

Rabu, 29 Juni 2016

Merbabu Si Abu-Abu

Ada beberapa versi cerita asal muasal nama Merbabu. Ada yang bilang Merbabu berasal dari kata meru (gunung) dan babu (wanita) yang artinya gunung wanita. Versi lain mengatakan Merbabu berasal dari kata meru (gunung) dan abu (abu) yang artinya gunung yang berwarna abu-abu / gunung yang berselimut abu. Ini adalah pendapat yang banyak dipercaya oleh masyarakat. Memang jika dilihat dari kejauhan Gunung Merbabu tampak berwarna abu-abu.

            Gunung Merbabu merupakan gunung berapi yang sudah tidak aktif. Tercatat terakhir meletus pada tahun 1797. Merbabu berada di empat wilayah yaitu, barat Kabupaten Magelang, timur Kabupaten Boyolali, selatan Kota Salatiga, dan utara Kabupaten Semarang. Gunung ini berketinggian 3142 mdpl. Gunung ini bisa didaki lewat beberapa jalur yaitu, jalur Thekelan, Cunthel, Suwanting, Wekas, Selo, dll. Pada kali ini saya akan menceritakan tentang pengalaman saya mendaki Gunung Merbabu via Cunthel bersama teman-teman.

            Kami memulai perjalanan dari Kota Semarang. Dari sini menuju basecamp pendakian kami memilih untuk menggunakan transportasi umum. Kami menumpang mini bus jurusan Semarang-Salatiga bertarif Rp. 10000. Tiba di Kota Salatiga kami turun di Pasar Sapi. Lalu menumpang lagi angkot jurusan Salatiga-Kopeng bertarif Rp. 5000. Kemudian kami turun di Jalan Umbul Songo. Dari sini tidak ada angkutan umum yang mengantar kami menuju basecamp. Untung saja ada teman kami, penduduk asli, berbaik hati mengantar kami menuju basecamp.

            Basecamp yang kami tuju terletak di Dusun Cunthel Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Bangunan basecamp berada di kiri jalan tepat sebelum masuk area perkampungan. Di basecamp ini semua pendaki wajib mengisi data diri dan membayar karcis sebesar Rp. 15.000. Terdapat tempat parkir yang cukup luas di sini sehingga bagi pengunjung yang membawa mobil tidak perlu khawatir. Terdapat juga counter yang menyediakan aneka souvenir seperti gantungan kunci, stiker, dan kaos.
 
Basecamp Manggala Cunthel
             Kami bertujuh mulai mendaki pukul 10.30. Menurut petugas di basecamp, pendakian biasanya memakan waktu 8 jam dari basecamp sampai ke puncak dan bisa lebih untuk pendaki pemula. Terdapat 2 pos bayangan dan 3 pos utama yang harus dilewati. Biasanya para pendaki mendirikan tenda di pos 3, di Puncak Menara, atau di Puncak Syarif. Kami berharap agar bisa sampai di camping ground sebelum matahari tenggelam sebab berbahaya jika melakukan pendakian di malam hari dengan kapasitas kami sebagai pendaki pemula.

            Setiap pos ditandai dengan plang hijau berisi infomasi nama pos, ketinggian, dan jarak ke pos selanjutnya. Di pos bayangan 1 terdapat bangunan gazebo permanen kira-kira berukuran 3x3. Cocok dijadikan tempat berteduh jika sedang hujan. Di pos bayangan 2 tidak terdapat bangunan seperti sebelumnya. Namun, di sini ada sumber mata air. Biasanya para pendaki beristirahat di sini sambil mengisi air untuk bekal. Di pos 1 terdapat beberapa bongkahan batu besar. Oleh sebab itu, pos ini dinamakan Pos Watu Putut. Selanjutnya di pos 2, tanah di sini lumayan datar. Cukup untuk mendirikan 1 atau 2 tenda. Pos ini dinamakan Pos Kedokan. Di pos ini kami sudah berada di ketinggian 2430 mdpl. Pos terakhir adalah Pos Kergo Pasar. Tanah di pos ini datar dan sangat lapang. Para pendaki biasanya mulai mendirikan tenda di pos ini. Di pos ini juga Gunung Andong, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran bisa disaksikan keindahannya.
 
Pos 2 Kedokan

                        Perjalanan dari pos 3 ke Puncak Menara adalah perjalanan terberat dibanding dengan perjalanan menuju pos-pos sebelumnya. Trek menanjak hampir 30 %. Di sekitar trek pepohonan dan semak-semak sudah mulai jarang sehingga jika jatuh bisa berbahaya. Saking lelahnya kami lama kelamaan berjalan merangkak dan terpleset. Sesekali kami menengok ke belakang untuk melihat pemandangan Gunung Andong, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Beruntung sekali pada sore itu kabut sedang bersahabat sehingga kami dapat melihat pemandangan dengan jelas. Semburat kuning sinar matahari tenggelam menambah keindahan pemandangan sore itu. Perlahan tapi pasti matahari tenggelam ufuk barat. Begitu juga dengan perjalanan ini perlahan tapi pasti akan sampai pada tujuan.
Gunung Andong, Telomoyo, dan Ungaran


            Pukul 19.00 kami tiba di puncak yang terdapat menara pemancar di situ atau biasa disebut Puncak Menara. Di sini kami berada di ketinggian 2847 mdpl. Banyak sekali pendaki yang mendirikan tenda di sini. Untuk lewat saja kami harus berhati-hati agar tidak tersandung tali tenda. Kami beruntung masih ada tempat untuk mendirikan satu tenda. Malam ini Merbabu sedang diserbu ratusan pendaki karena malam ini adalah malam terakhir di bulan Desember. Para pendaki berombongan ada juga yang sendiri ingin menikmati perayaan pergantian tahun di atas awan. Kelap-kelip lampu kota bagaikan bintang-bintang bertaburan di muka bumi. Itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan pemandangan di bawah. Sesekali kembang api menyala dari bawah. Terlihat sangat kecil sekali. Namun, suaranya terdengar sampai di sini.

            Semakin malam udara semakin dingin. Semakin malam angin berhembus semakin kencang menghantam tenda dari kanan dan kiri. Syukur Alhamdullilah tenda kami masih berdiri sampai pagi.

            Sebelum fajar para pendaki memulai perjalanan lagi menuju puncak tertinggi yaitu Puncak Kenteng Songo. Menurut salah satu pendaki, matahari terbit tidak akan terlihat jika kita berada di Puncak Menara sehingga harus melanjutkan perjalanan sebelum fajar.

            Pemandangan pagi di Puncak Menara sangat indah. Matahari tebit dari sebelah timur. Keindahannya tidak bisa kami nikmati seutuhnya karena terhalang puncak-puncak Merbabu. Hanya terlihat sinarnya saja dari sini. Gumpalan awan bagai kapas muncul secara bersamaan. Indah sekali. Dihiasi dengan warna kuning keemasan gumpalan awan tersebut seperti jalan menuju nirwana. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan kami langsung mengeluarkan kamera dan mengabadikan momen berharga ini.
Samudra Awan

            Saat hari benar-benar terang sekitar pukul 07.00 kami melanjutkan perjalanan. Trek berupa bebatuan. Kanan kiri jurang. Kadang menuruni bebatuan. Kadang menaiki bebatuan. Tiba di persimpangan jalan terdapat plang petunjuk arah. Plang tersebut menunjukkan bahwa jalan ke puncak lurus ke depan. Di persimpangan itu kami bertemu dengan salah seorang pendaki. Menurut penuturannya, jalan ke puncak bisa ambil jalur yang sebelah kiri. Jika lewat jalur ini tidak akan melewati Jembatan Setan yang menjadi momokku sejak awal. Kami menurut saja.

            Awalnya trek menurun berupa bebatuan. Setelah itu kami melewati area seperti kawah yang sudah mati. Bau belerang sangat menyengat. Lalu kami melewati sumber mata air. Di sini banyak pendaki yang sedang mengisi botol-botol minumannya. Kami berjalan lurus. Kemudian naik melewati trek berupa tanah. Dan akhirnya kami mencapai trek mendatar. Kami berjalan lurus ke arah kanan. Semakin maju hatiku semakin ragu bahwa jalan ini akan membawa kami menuju puncak Kenteng Songo. Pasalnya semakin maju jalan semakin sempit bahkan hanya cukup untuk dilewati satu telapak kaki. Kami juga tidak berpapasan dengan pendakian lain. Sepertinya jalan ini jarang dilintasi.

            Tiba-tiba dari arah barat kami mendengar suara orang berteriak menanyakan kami mau kemana. Kami menjawab kami ingin ke puncak Kenteng Songo. Orang tersebut meminta kami untuk berbalik arah karena jalan yang kami lewati salah. Sesampainya di persimpangan awal kami bertemu dengan pemilik suara tadi. Ternyata beliau adalah petugas yang bertanggung jawab mengawasi para pendaki di area puncak. Beliau berkata bahwa jalan yang kami lewati tadi adalah jalur pendakian ritual. Jalur tersebut merupakan jalur khusus untuk melakukan ritual di Gunung Merbabu. Jadi bukan kapasitas kami untuk melewati jalur tersebut. Jika diteruskan bukan puncak yang akan kami dapati tetapi kesasar dan bisa saja tidak bisa pulang.

            Dengan alasan keamanan para pendaki dilarang berada di puncak kenteng songo lebih dari jam 10. Maka dari itu kami memutuskan untuk kembali ke tenda saja. Jika kami memaksa untuk melanjutkan perjalanan tentu waktunya tidak akan cukup mengingat jarak yang masih jauh dan waktu yang terbatas. Pelajaran yang dapat diambil dari kejadian ini adalah ikutilah jalur resmi sesuai petunjuk dan jangan bersikap sembrono.

            Setibanya di tenda kami berkemas. Penjalanan turun lebih cepat daripada saat naik. Sesampainya di basecamp kami melapor kembali kepada petugas. Di sekitar basecamp ada beberapa penjual jajanan keliling seperti bakso kuah. Suasana dingin seperti ini memang cocok makan makanan yang hangat dan berkuah.


            Pendakian di Gunung Merbabu memberi kenangan indah dan pengalaman berharga. Walaupun belum mencapai puncak tertinggi hal itu tak mengurangi rasa syukur kami. Kami bersyukur bisa kembali ke rumah dengan selamat sehingga bisa melakukan perjalanan lagi menjelajah bumi nusantara yang indah. Terima kasih Tuhan yang telah memberi kami kesempatan menyaksikan dan mengagumi keindahan ciptaanmu.

Kamis, 18 Februari 2016

Awas Harimau

Cerita ini aku alami saat sedang melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata di Dusun Thekelan, salah satu dusun di Gunung Merbabu. Jengkel dan konyol bila aku teringat kejadian ini. Begini ceritanya.

Bosan dan jenuh melanda hati dan pikiran. Ada banyak waktu luang dalam sehari. Sungguh sia-sia jika hanya dihabiskan untuk bersantai di posko. Lalu aku dan ketujuh temanku memutuskan untuk pergi ke air terjun yang ada di sebelah timur dusun ini. Cusssss let’s go. My Trip My Adventure.

Tempat ini sudah aku icar sejak hari pertama KKN. Rencana pergi selalu batal dengan berbagai alasan: sudah sore, hujan, habis hujan jalan licin, air terjun kering, dll.

Air terjun ini berada di kawasan hutan Gunung Merbabu. Namun tidak terlalu jauh dengan pemukiman warga. Kira-kira hanya berjarak 1 kilometer. Sepanjang perjalanan kami melewati jejeran hutan pinus. Indah sekali. Seperti pemandangan alam di film-film Bollywood. Cocok dijadikan spot berfoto. Kami pun tak melewatkan kesempatan ini.
Berfoto di hutan pinus Dusun Thekelan

Perjalanan menuju air terjun

“Ehh itu ada monyet” ujar salah satu temanku.

Aku merinding. Kurangkul tangan teman yang berjalan persis di depanku.

“Ada segerombolan. Warnanya putih”.

Aku semakin ketakutan. Sepanjang perjalanan kedua mataku melihat sekeliling untuk berjaga bila ada monyet yang tiba-tiba mendekat. Jika hanya satu ekor mungkin aku tak setakut ini. Namun ini segerombol monyet hutan yang liar. Mereka memekik menambah ketakutanku saja.

Kalau tidak salah dengar semalam Pak Kadus (Kepala Dusun) bercerita bahwa di kawasan hutan Gunung Merbabu masih terdapat satu ekor harimau. Keyakinanku bertambah ketika teman-temanku yang lain juga berpikiran seperti itu. Kewaspadaanku meningkat.

“Harimau. Awas ada harimau !!!!!” teriak salah satu temanku tiba-tiba yang berjalan memimpin di depan.

Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari menyelamatkan diri. Aku lihat teman-temanku yang lain juga tidak kalah panik. Beberapa langkah berlari aku mendengar suara tawa terbahak-bahak. Aku berhenti dan menengok kebelakang. Ternyata ini hanya guyonan semata dan dengan mudah aku percaya hahahahha.
Tertawa bersama

Tidak hanya aku saja yang tertipu. Bahkan sampai ada yang menangis karena panik dan ketakutan. Untung aku hanya berlari saja. Tidak sampai nekat terjun ke jurang atau naik pohon pinus.

Lalu kami memutuskan untuk kembali ke posko saja. Gokil, jengkel, sebal, dan lucu rasanya. Aku ingin jambak rambut teman yang berteriak harimau tadi. Dia berhasil menjahili kami semua.

Pak Kadus sekeluarga tertawa terbahak-bahak mendengar cerita ini. Beliau mengkonfirmasi bahwa di kawasan hutan Gunung Merbabu sudah tidak ada harimau lagi.

“Harimau sudah tidak ada Mbk disini. Tapi kalau monyet banyak” ujar Pak Kadus.

“Iya Pak tadi ada segerombolan. Tuh nyasar satu sampai sini” ujar temanku sambil menunjuk.

Cerita ini berakhir dengan gelak tawa kami bersama Pak Kadus sekeluarga.