.
Pembagian bid’ah menurut Imam Syafi’i
adalah,sbb:
a. Bid’ah
yang baik (bid’ah mahmudah)
Bid’ah mahmudah adalah perkara baru yang
baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, atsar (sahabat),
dan ijma’.
b. Bid’ah
yang tercela (bid’ah madzmumah)
Bid’ah madzmumah adalah perkara baru yang
bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, atsar (sahabat), dan ijma’.
Imam Syafi’i berkata: “Perkara
yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu perkara yang dibuat-buat yang
menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah, atsar (sahabat), dan ijma’ maka ini termasuk
bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak
menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang
tercela.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i (1:
468-469). Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam
tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131)
Kemudian pembagian ini diikuti secara ghuluw (melampaui
batas syari’at) oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah
ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah dholalah (sesat) dalam
terminologi syari’at menurut mereka karena setiap orang berhak dan memiliki
pemikiran yang beragam untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka
lakukan.
Dalam pembahasan subbab sebelumnya, telah dibahas tentang
tercelanya bid’ah. Beberapa ulama pendahulu kita yang shahih
(as-salafush-shalih) memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at, yang tidak
ada dalilnya, dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW serta para
sahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak mengecualikan bid’ah dengan kata
mahmudah (baik) karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dholalah (sesat).
Kita tidak berpandangan bahwa beliau Imam Syafi’i
menyelisihi pendahulunya.
Imam Syafi’i berkata: “Barang
siapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pandangannya), sesungguhnya ia
telah membuat syari’at.” (Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal.374,
Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)
“Sesungguhnya
anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu.” (Ar-Risalah, hal.507)
Ibnu Rajab Al-Hambali r.a menjelaskan maksud perkataan
Imam Syafi’i mengenai bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Beliau berkata: “Yang dimaksud oleh Imam Syafi’i tentang
bid’ah madzmumah adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at
yang mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan
bid’ah yang mahmudah adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah, yaitu yang
memiliki asal dari Rasulullah SAW sebagai pendukung. Namun yang dimaksud bid’ah
mahmudah di sini adalah bid’ah secara bahasa dan bukan secara istilah syar’i.”
(Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131)
Ibnu Taimiyah r.a menjelaskan maksud perkataan Imam
Syafi’i. Beliau berkata: “Apa saja yang
menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para ulama
kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi dalil, maka tidak
disebut bid’ah. Imam Syafi’i berkata bahwa bid’ah itu ada dua macam, yaitu yang
menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah, atsar dari berbagai sahabat Rasulullah SAW,
dan ijma’. Bid’ah yang seperti itu termasuk bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan
jika tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka termasuk bid’ah mahmudah. Karena
Umar bin Khotob berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”(pada saat
menghidupkan sholat tarawih secara berjama’ah. Perkataan semacam ini dan
semisalnya dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih.”(Majmu’ Al
Fatwa, 20: 163)
Imam Syafi’i bukanlah orang yang mudah melegalkan bid’ah.
Beliau merupakan orang yang paling semangat dalam
ittiba’ atau mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. Dan beliau juga adalah orang
yang sangat keras pada orang yang membantah sabda Rasulullah SAW. Bahkan beliau
diberi gelar oleh penduduk Baghdad Nashirus Sunnah yang artinya pembela sunnah.
Imam Syafi’i menuturkan tentang keutamaan orang yang
memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. Beliau berkata:
“Barangsiapa
yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi karena
kecintaan (ikhwanan) secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku
baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran,
syuhada dan para shalihin”. (Kitab Madarijus
Su’uud hal. 16, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh An-Nawawiy Ats-Tsaniy (Sayyid
Ulama Hijaz)
Namun sebagai sebuah mazhab
besar, tidak ada pernyataan resmi dari mazhab As-Syafi'i bahwa perayaan Maulid
Nabi Muhammad SAW tiap tahun sebagai sebuah kewajiban yang harus dijalankan
secara rutin.Kita tidak akan menemukan di dalam kitab-kitab fiqih As-Syafi'iyah
yang induk dan muktabar lafadz yang menyebutkan bahwa: peringatan maulid nabi
hukumnya wajib atau sunnah serta harus selalu dirayakan setiap tahun oleh orang
beriman.
Bukan berarti yang tidak
dikerjakan Rasulullah SAW pasti merupakan bid’ah yang sesat. Tatkala Umar bin
Khotob mengusulkan pengumpulan dan pembukuan Al-Quran, Khalifah Abu Bakar
khawatir karena Rasulullah SAW tidak mengerjakannya. Namun Umar bin Khotob berhasil
menyakinkan Khalifah Abu Bakar dengan alasan bahwa itu merupakan perbuatan baik
yang tidak bertentangan sengan syari’at. Ibnu Hajar Asqalany menyebutkan
pembukuan Al-Qur’an oleh Khalifah Abu Bakar masuk dalam bab membuat sunnah
hasanah (tradisi yang baik) sesuai hadits Rasulullah SAW.
“Siapa saja yang membuat suatu tradisi yang baik (tidak bertentangan dengan
syari’at) maka dia mendapatkan pahala dan pahala orang yang mengerjakannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar