|
Pendidikan Character |
A. Pengertian Karakter Bangsa dan integritas
1.
Pengertian karakter bangsa
Karakter
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang memebedakan seseorang dari yang lain. Dengan
demikian karakter adalah nilai- nilai yang unik baik yang terpateri dalam diri
dan terejawantahkan dalam perilaku karakter secara koheren memancar dari hasil
olah pikir, olah hati, olah rasa, dan karsa, serta olah raga seseorang atau
sekelompok orang.
Karakter
bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas baik yang
tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan
bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah
raga seseorang atau sekelompok orang.
2.
Integritas
Pribadi yang berintegritas adalah
seseorang yang mempunyai pendirian dan memegang prinsip. Makna integritas itu
sendiri adalah satunya kata dengan perbuatan. Ia tidak akan melakukan sesuatu
yang tidak diucapkannya. Perkataannya selalu memiliki nilai tambah. Ia tidak
akan mengenakan sesuatu barang atau apapun yang berharga mahal dan mewah apabila
ia mengucapkan bahwa ia ingin hidup sederhana. Ia tidak sembarangan dalam
mengutarakan pendapatnya. Segala sesuatunya selalu dipertimbangkan dengan
pemikiran dan kebijaksanaan yang matang.
Orang yang berintegritas adalah orang yang sudah
memiliki kepribadian secara utuh. Ia menyadari kebutuhan sesuai dengan
proporsinya. Ia selalu mampu mengendalikan diri dan berada dalam kecukupan
serta tidak pernah berkekurangan atau berkelebihan. Ia memiliki konsep citra
diri yang jelas dan mendapatkan kepribadian utuh melalui proses pembelajaran
dari pengalaman hidup yang dilaluinya. Ia tidak perlu menempuh pendidikan
kepribadian ala barat yang banyak berkembang dewasa ini.
Orang yang berintegritas adalah pribadi matang
yang berorientasi pada proses, bukan pada hasil semata. Ia meyakini bahwa bila
ia melaksanakan sesuatu sesuai dengan tahapan yang benar dengan cara
sebaik-baiknya, maka hasil yang akan diperoleh pasti akan baik pula. Sebaliknya
bila ia mengerjakan kegiatan dengan proses yang buruk, maka hasilnya juga akan
buruk pula. Ia tidak akan tergiur untuk memperoleh hasil yang banyak dengan
cara yang cepat dan tergesa-gesa.
B. Pengertian pendidikan karakter berdasarkan Pancasila
Pembangunan
karakter bangsa merupakan gagasan besar yang dicetuskan oleh para ahli pendiri
bangsa karena negara Indonesia adalah negara dengan bangsa yang dibangun di
atas keragaman dan perbedaan, yaitu perbedaan suku, agama, ras, etnis, budaya
,bahasa dan lain-lain. Maka dari itu, bangsa Indonesia membutuhkan kesamaan
pandangan tentang budaya dan karakter holistik sebagai bangsa. Hal itu
menyangkut kesamaan pemahaman, pandangan, dan gerak langkah untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Pembangunan
karakter bangsa adalah upaya kolektif – sistemik suatu negara kebangsaan untuk
mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan
ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks
kehidupan nasional, regional, dan global yang bekeadaban untuk membentuk bangsa
yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong –
royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi ipteks berdasarkan
Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pembangunan
karakter bangsa bertujuan untuk membina dan mengembangkan karakter warga negara
sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan
perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karakter
yang berlandaskan Pancasila artinya setiap aspek karakter harus dijiwai ke 5
sila Pancasila secara utuh dan komprehensif yang dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a.
Bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Karakter
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seseorang tercermin antara lain :
1)
Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab.
2)
Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk
agama dan pemeluk-pemeluk kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina
kerukunan hidup.
3)
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya.
4)
Tidak memaksa suatu agama dan kepercayaan kepada orang
lain.
5)
Menolak kepercayaan atheisme di Indonesia.
b.
Bangsa yang menjunjung kemanusiaan yang adil dan
beradab.
1)
Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan
kewajiban antara sesama manusia.
2)
Saling mencintai sesama manusia.
3)
Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4)
Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5)
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
6)
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7)
Berani membela kebenaran dan keadilan.
8)
Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari
seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa lain.
c.
Bangsa yang mengedepankan persatuan dan kesatuan
bangsa
1)
Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan
keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
2)
Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
3)
Cinta tanah air dan bangsa.
4)
Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air
Indonesia.
5)
Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa
yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
d.
Bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan
hak asasi manusia.
1)
Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
2)
Tidak memaksa kehendaknya sendiri kepada orang lain.
3)
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan
untuk kepentingan bersama.
4)
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh
semangat kekeluargaan.
5)
Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima
dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
6)
Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai
dengan hati nurani yang luhur.
7)
Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung
jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha, menjunjung tinggi harkat dan
martabat serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
e.
Bangsa yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan .
1)
Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur, yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan bergotong-royong.
2)
Bersikap riil.
3)
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4)
Menghormati hak-hak orang lain.
5)
Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
6)
Menjauhi sikap pemerasan kepada orang lain.
7)
Tidak bersifat boros.
8)
Tidak bergaya hidup mewah.
9)
Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan
umum.
10) Suka bekerja
keras.
11) Menghargai
hasil karya orang lain.
12) Bersama-
sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Melalui
pendidikan karakter bangsa berdasarkan Pancasila diharapkan mampu melahirkan
generasi muda yang berkarakter dan berintergritas sehingga mampu memahami,
menganalisis, dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat
bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten berdasarkan cita-cita dan
tujuan bangsa Indonesia.
C. Pengabaian Pendidikan Karakter Menunggu Runtuhnya
Peradaban Bangsa
Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 Pasal 1 Ayat 2 ditegaskan
bahwa yang dimaksud dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang
berakar pada Pada Pancasila dan UUD.
Namun dalam praktiknya dunia pendidikan Indonesia
terlihat kehilangan arah. Pendidikan hanya dimaknai sebagai teknik manajerial
persekolahan yang hanya menitik beratkan pada kemampuan kognitif dan
meminggirkan pendidikan karakter bangsa.
Pendidikan yang ada saat ini terlihat justru
mengagung-agungkan konsep pendidikan barat, padahal konsep pendidikan barat
cenderung eksploitatif dan mendidik manusia yang individualis yang tentunya
tidak pas dengan karakter bangsa kita.
Indikator yang digunakan pun cenderung menggunakan
indikator kepintaran , sementara pendidikan karakter untuk menghasilkan siswa
yang berbudi luhur telah diabaikan. Sebagian pelaku pendidikan merasa berhasil
apabila anak didiknya memperoleh nilai akademis yang tinggi ,cepat terserap di
dunia kerja dan memenangkan berbagai kompetisi meskipun minim rasa kepekaan
sosial, tepa slira, dan kebangsaan. Padahal esensi pendidikan lebih jauh dari
itu. Pendidikan adalah upaya pembangunan peradaban bangsa, mencetak manusia
Indonesia yang berkarakter Pancasila.
Ukuran keberhasilan pendidikan lebih diletakkan pada
menjawab soal-soal ujian dan target-target perolehan nilai, bukan pada indikator
pengembangan karakter anak. Sehingga pada akhirnya kita mendapati banyaknya
anak-anak yang mendapat nilai tinggi namun moralnya justru begitu rendah.
Sesungguhnya jauh lebih penting mengajarkan anak nilai
kejujuran dari pada nilai matematika, fisika, dan sejenisnya yang pada umumnya
telah membuat anak kita stress dan mulai membenci sekolah. Sungguh jauh lebih
penting mengajarkan kepada mereka tentang kerjasama dan saling tolong menolong
daripada persaingan merebut posisi juara di kelas. Sekolah kita hanya mampu
membuat 3 anak sebagai juara daripada membuat mereka semua sebagai juara.
Sekolah kita tanpa sadar telah dirancang untuk mencetak anak yang gagal jauh
lebih banyak daripada yang berhasil. Sekolah kita juga telah dirancang untuk
lebih banyak memberi label anak yang bermasalah ketimbang memberi label anak yang
berpotensi unggul dibidangnya.
Pernakah anda berfikir untuk menyekolahkan anak anda
semata-mata hanya untuk mendapatkan nilai 9 di raport? Kemudian diakhir sekolah
dia menjadi penganguran sedangkan yang mendapat nilai 5 di raport malah akhirnya
menjadi seseorang yang sukses dan terkenal. Disini perlu diperhatikan tujuan
kita untuk sekolah. Sekolah sebagai sarana dan tempat untuk mendapatkan
pengajaran dan pendidikan yang akan membuat kita mengenal, tahu, dan bisa
melakukan hal-hal yang baru dengan cara yang cerdas dan efisien. Tidak sekedar
membina dan mendidik para siswanya untuk menghadapi Ujian Nasional. Ujian yang
akan mempertaruhkan 3 tahun pembelajaran dan jerih payah siswa.
Sistem pendidikan nasional kita sekarang ini masih
mengedepankan pada pencapaian bebasis nilai bukan pada ketrampilan dan
kompetensi. Sehingga kita tidak perlu
bertanya dan bingung mengapa banyak sarjana yang menganggur, peserta olimpiade
fisika yang tidak lulus Ujian Nasional dan banyak lagi hal-hal yang menggelikan
dari sistem pendidikan ini.
Berdasarkan penelitian seorang pakar terdapat 10
tanda-tanda dari suatu bangsa yang akan mengalami kemunduran dan bahkan
kehancuran. Jika ternyata ke sepuluh tanda ini muncul di negara kita maka sudah
saatnya kita untuk melakukan perubahan besar-besaran terhadap sistem pendidikan
bagi anak-anak kita. Berikut adalah kesepuluh tanda-tanda tersebut :
1.
Meningkatnya perilaku kekerasan dan merusak di
kalangan remaja atau pelajar.
2.
Penggunaan kata-kata bahasa yang cenderung memburuk
,seperti ejekan, bahasa slank, dll.
3.
Pengaruh teman lebih kuat daripada orang tua dan guru.
4.
Meningkatnya perilaku sex bebas, merokok, dan
obat-obatan terlarang dikalangan remaja atau pelajar.
5.
Merosotnya perilaku moral dan meningkatnya egoisme
pribadi.
6.
Menurunnya jiwa Patriotisme.
7.
Rendahnya rasa hormat kepada orang yang lebih tua
.Contoh : orang tua, guru, dll.
8.
Meningkatnya perilaku merusak fasilitas umum.
9.
Ketidakjujuran terjadi dimana-mana.
10. Berkembang
perilaku rasa saling curiga, membenci, dan memusuhi di antara sesama warga
negara(kekerasan SARA).
D. Keberhasilan pendidikan karakter di negara-negara maju
Berikut adalah potret keberhasilan pendidikan karakter
di negara- negara maju.
1.
Singapura
Singapura merdeka pada tahun 1965
melalui proses penyerahan kekuasaan (Hand Over) oleh Inggris. Pada masa-masa
awal kemerdekaannya Singapura melalui proses pembentukan karakter kebangsaannya
dipandu oleh pemimpinnya bernama Lee Kwan Yew. Bangsa Singapura dibimbing untuk
bekerja keras dan menyikapi keadaan dengan positif. Lee Kwan Yew setiap hari
membagikan kartu-kartu pos (Post Card) bergambar pemandangan kota di negara
Swiss yang bersih kepada penduduk Singapura. Ternyata Lee Kwan Yew mencoba
untuk membentuk karakter penduduk Singapura dengan memberi contoh visual yang
mudah mereka pahami. Dengan cara demikian, penduduk Singapura menjadi lebih
mencintai kebersihan dan menerapkan perilaku kehidupan yang bersih dan
disiplin.
Saat ini kita mengenal bangsa Singapura sebagai
bangsa yang tangguh, beretos kerja tinggi, disiplin, dan selalu menjaga
kebersihan. Negara Singapura juga sudah tumbuh ekonominya menjadi salah satu
kekuatan ekonomi besar di lingkungan Asia Pasifik. Kemajuan bangsa Singapura
juga bisa dilihat dari perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih.
Kondisi Singapura yang semakin maju dewasa ini
membuktikan bahwa kualitas SDM jauh lebih penting daripada kekayaan Sumber Daya
Alam (SDA), karena dari aspek SDA justru Singapura tidak memiliki banyak
potensi yang dapat dieksplorasi.
2.
Jepang
Sejak kelas
SD anak jepang sudah dicekoki dengan motto "negerimu ini miskin karena
banyak memliki batu dan air saja". Motto ini membentuk jiwa anak jepang
menjadi keras dan pantang menyerah sehingga mereka harus belajar dan
berusaha keraas sejak kecil agar mereka tidak miskin. Tidak ada dalam
benak mereka negeri "gemah ripah loh jinawi" tanah air kaya raya,
nyiur melambai, kolam susu, dan dongeng-dongeng negerinya dimasa lalu.
Prinsip ini tertanam sejak kecil sehingga mereka terus berusaha, tidak malas,
rasional, disiplin dan sifat-sifat lain yang penuh tantangan sehingga mereka
menjadi bangsa yang aktif, dinamis, optimis, dan ofensif. Prinsip-prinsip hidup
dan keberhasilan mereka dalam membangun bangsanya bukanya tidak membawa masalah
karena sifat yang aktif dan ofensif yang ditunjang oleh nasionalisme berlebihan
menyeret mereka keperang dunia ke II.
Jepang sekarang merupakan satu-satunya negara Asia yang berpredikat negara
maju. Semuanya ini sebagai produk sistem pendidikannya yang ketat. Sementara
pola hidup mereka yang "konsumtif" merupakan akibat keberhasilan
ekonominya. Jepang sudah mencapai pembangunan ekonomi, tinggal landas sudah
lama dilaluinya yakni pada saat pemerintahan meiji diakhir abad ke-19.
Pengamat asing mengatakan bahwa segala kemajuan yang ada pada jepang terjadi
akibat pengaruh luar yang masuk, teristimewa modernisasi dari barat yang
mencangkup hampir disemua bidang kehidupan. Menurut tokoh pendidikan AS
kunci keberhasilan siswa jepang terletak pada peranan
orang tua murid yang sangat
aktif.
3.
Cina
Petersen
(1966) dalam artikel “success story” menulis tentang keberhasilan pendidikan
dan ekonomi Cina dan Jepang sebagai bangsa yang suka bekerja keras dan jarang
mengeluh, kemudian di rumah, orang tua, menjadi model atau uswatun hasanah bagi
anak- anak mereka. Menjadi model atau figure bagi anggota keluarga maka mereka
harus rajin dan berprestasi. Chao (1996) mengatakan bahwa anak- anak Cina mampu
menjadi siswa yang terbaik dengan bakat khusus- memenangkan kompetisi
olimpiade, computer, robot, juara bulu tangkis tingkat dunia, atau menonjol
dalam bidang sains dan tekhnologi. Keberhasilan mereka dalam bidang tersebut
tentu karena dukungan budaya dan keluarga. Budaya yang mereka miliki adalah
budaya senang bekerja keras dan belajar penuh semangat. Dalam mencari rezki,
orang Cina punya moto- jangan biarkan reski dimakan oleh ayam terlebih dahulu
(maksudnya jangan suka bangun kesiangan) dan “beri aku ikan maka aku makan satu
kali, tapi beri aku kail- ajari aku memancing- maka aku makan ikan selamanya”. Dalam
konteks ini WNI keturunan mengajar anak-anak mereka agar memiliki keterampilan
hidup dan tidak meminta rezki atau belas kasih dari pihak famili atau orang
lain.
4.
Amerika Serikat
Di Amerika Serikat
sendiri, pendidikan karakter, yang juga dikenal dengan istilahcharacter-based
education kembali mengedepankan nilai-nilai karakter moral pada anak
pendidikan usia dini. Anak-anak dibiasakan mengucapkan 3 kata ajaib: tolong,
terima kasih, maaf. Kesalahan sistem pendidikan sebelumnya di bawah mantan
presiden George W. Bush, yang mementingkan sistem ujian sebagai standar
keberhasilan performance siswa, ternyata tidaklah menjamin
mutu kecerdasan kognitif para siswa Amerika. Para pemegang kebijakan pendidikan
di Amerika harus menerima kenyataan bahwa rangking para siswa sekolah di
Amerika hanya menduduki peringkat ke-17 di bidang matematika, membaca,
dan science dalam tes internasional PISA bagi siswa kelompok
usia 15 tahun. Sedangkan siswa-siswa Finlandia yang dididik oleh para guru yang
memiliki karakter kuat sebagai positive role model mampu
mendorong siswa-siswanya untuk berpikir kreatif dan berhasil gemilang mencapai
prestasi rata-rata tertinggi selama 3 tahun berturut-turut, di tahun 2003,
2006, dan 2009.
Ilustrasi
ini menjadi refleksi bagi bangsa Indonesia yang memperoleh kemerdekaan dengan
perjuangan bersenjata dan memiliki karunia Tuhan berupa kekayaan SDA yang
melimpah namun sampai saat ini kita belum mampu bangkit menjadi kekuatan
ekonomi yang maju sebagaimana Singapura, Jepang, Cina dan
negara-negara maju lainnya.
Karakter dan budaya yang dimiliki suatu bangsa menentukan
kemajuan bangsa tersebut. Berikut terdapat ciri-ciri karakter dalam sebuah
negara maju, yaitu :
1.
Hubungan dan tingkat saling percaya baik disertai
nilai dan sikap positif, optimis serta saling mendukung.
2.
Sistem dan etika hukum jelas dan dipatuhi.
3.
Kewenangan adalah bertujuan untuk melayani masyarakat
( pejabat hidup sederhana dan setara dengan rakyat ).
4.
Mampu bekerja keras dan memiliki sikap mulia, serta
mampu memberikan rasa kebahagiaan.
5.
Memiliki orientasi untuk membuat hidup terencana dalam
jangka waktu yang panjang.
E. Membangun Karakter Bangsa Dengan Berdasarkan Pancasila
1. Keberhasilan
pola pendidikan karakter di pesantren
Pendidikan karakter yang harus menjadi belahan mata uang dari pendidikan sains
tidaklah cukup dengan hanya mentransmisikan nilai-nilai budi pekerti ( Akhlak )
dan norma-norma keagamaan, tetapi memerlukan suatu proses pendidikan yang
mencakup penghayatan, pelatihan ( drilling ) dan pembiasaan. Dan ini hanya
dapat dilaksanakan dalam system pendidikan kampus yang terpadu ( Boarding
School ) dan mengarah kepada pembinaan kepribadian seutuhnya ( Integrated
personality ) . Proses pendidikan terpadu demikian ini dapat dilaksanakan oleh
lembaga pendidikan pesantren , dan lebih dari itu hanya dengan sistem
pendidikan pesantren dapat dilaksanakan pendidikan karakter yang berakar kepada
keyakinan hidup dan keagamaan yang tidak akan tergoyahkan oleh arus perubahan
nilai-nilai sosial budaya yang dihembuskan oleh era globalisasi.
Pendidikan karakter di pesantren dapat berjalan dengan baik dan
berkesinambungan dikarenakan pendidikan pesantren melandaskan pendidikannya
pada “ Uswatun hasanah “ yang dilakukan oleh seluruh tenaga pendidik nya,
sehingga dengan mudahnya para santri meniru dan mempraktekkan dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Selain itu perlu juga di ketahui bahwa pendidikan di
pesantren adalah pendidikan dan pembinaan keutuhan kepribadian yang meliputi :
a. Aspek Kognitif yakni pembinaan
kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas
dan mendalam , sebagai penjabaran dari sifat Rasul Fathanah.
b. Aspek Afektif yakni pembinaan sikap mental ( mental attitude ) yang mantap
dan matang sebagai penjabaran dari sifat Rasul Amanah.
c. Aspek Psikomotorik yakni pembinaan tingkah laku ( behaviour ) dengan akhlak
yang mulia, sebagai penjabaran dari sifat Rasul Shidiq.
d. Aspek Konatif yakni pembinaan keterampilan ( skill ) kepemimpinan yang
terlatih dan bijaksana sebagai penjabaran dari sifat Rasul Tabligh.
Hal ini dilakukan untuk dapat memberikan idealisme dan kemampuan-kemampuan
kepada seluruh santri untuk mewujudkan masyarakat yang Hayatan Thayyibah (
kehidupan yang sejahtera ) sebagai cita-cita dan tugas darma baktinya kepada
masyarakat setelah menyelesaikan masa studinya , dan nilai-nilai Hayatan
Thayyibah ( kehidupan yang sejahtera ) itu sudah diaplikasikan dalam kehidupan
para anak didik di kampus pesantren.
Kehidupan yang sejahtera itu adalah kehidupan yang memiliki 2 dimensi yaitu “
la khaufun alaihim “ yaitu kehidupan yang bersatu , aman, damai, tertib, bersih
dan berakhlak mulia , bebas dari segala kekhawatiran dan ketakutan.
Sedangkan dimensi yang kedua adalah “ walaahum yahzanuun “ yaitu kehidupan yang
mandiri, produktif , adil dan makmur, bebas dari segala keprihatinan oleh serba
kekurangan, kelemahan dan ketergantungan karena kemajuan dan kemakmuran
masyarakatnya.
Maka tidaklah heran kalau banyak orang-orang sukses yang berawal dari
pendidikan pesantren , dari mulai tingkat yang paling bawah sampai tingkat yang
paling tinggi , ada yang menjadi pengusaha , ada yang menjadi pejabat, ada yang
menjadi kepala sekolah, ada yang menjadi birokrat , ada yang menjadi wartawan,
ada yang menjadi pimpinan pesantren , banyak yang menjadi guru ngaji dan lain
sebagainya, karena memang para santri dididik dan di persiapkan dengan
kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada kemandirian tidak bergantung kepada
orang lain.
Pesantren memduduki
posisi yang unik dalam pendidikan di Indonesia. Salah satu hal unik yang
mendapat banyak pujian adalah keberhasilannya dalam menanamkan pendidikan
karakter. Sehingga tidaklah mengherankan jika dalam beberapa tahun terakhir ini
banyak pakar pendidikan tertarik mengadopsi pola pendidikan pesantren ke dalam
pendidikan umum (SD, SMP, perguruan tinggi).
2.
Peran Pedidik dan Generasi Muda Dalam Membangun
Karakter Bangsa
a.
Pendidik
Pembentukan
karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values education)
melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan. Bahkan,
kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggungjawab bukan hanya
dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,
tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan
kontekstual bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis watak
seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara maju sekalipun (cf. Fraenkel
1977: Kirschenbaum & Simon 1974).
Usaha
pembentukan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
Pertama, menerapkan pendekatan “modelling”
atau “exemplary” atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan
dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan
nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru
dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah
hasanah” yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik.
Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik
tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
Kedua, menjelaskan atau
mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai
nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan
langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising)
nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging)
berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk
secara terbuka dan kontinu; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan
pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari
setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan
prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan
bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus
menerus dan konsisten.
Ketiga, menerapkan pendidikan
berdasarkan karakter (character-based education). Hal ini bisa dilakukan
dengan menerapkan character-based approach ke dalam setiap
mata pelajaran nilai yang ada di samping matapelajaran-mata pelajaran khusus
untuk pendidikan karakter, seperti pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan
(PKn), sejarah, Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik terhadap
matapelajaran-matapelajaran terakhir ini, perlu dilakukan reorientasi baik dari
segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme
dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan kembali
karakter dan jatidiri bangsa.
b. Generasi
muda
Berikut
adalah 3 peran penting generasi muda dalam membangun karakter bangsa :
1) Generasi
muda sebagai pembangun kembali karakter bangsa (character builder).
Di era
globalisasi ini, peran generasi muda adalah membangun kembali karakter positif
bangsa seperti misalnya meningkatkan dan melestarikan karakter bangsa yang
positif sehingga pembangunan kemandirian bangsa sesuai dengan Pancasila dapat
tercapai sekaligus dapat bertahan ditengah hantaman globalisasi.
2) Generasi
muda sebagai pemberdaya karakter
(character enabler).
Pembangunan
kembali karakter bangsa tentu tidak cukup, jika tidak dilakukan pemberdayaan
secara terus menerus. Sehingga generasi muda juga dituntut untuk mengambil
peran sebagai pemberdaya karakter atau character
enabler. Misalnya dengan kemauan yang kuat dan semangat juang dari generasi
muda untuk menjadi role model dari
pengembangan dan pembangunan karakter bangsa Indonesia yang positif di masa
depan agar menjadi bangsa yang mandiri.
3) Generasi
muda sebagi perekayasa karakter (character engineer)
Sejalan
dengan dibutuhkannya adaptifitas daya saing generasi muda untuk memperkuat
ketahanan bangsa Indonesia. Character
engineer menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran.
Pembangunan dan pengembangan karakter positif generasi muda bangsa juga
menuntut adanya modifikasi dan rekayasa dengan
yang sesuai dengan perkembangan dunia. Contohnya adalah karakter pejuang
dan patriotisme yang tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik, tetapi
dapat dalam konteks lainnya yang
bersifat non fisik. Esensinya adalah peran generasi muda dalam
pemberdayaan karakter tersebut.