Ada
beberapa versi cerita asal muasal nama Merbabu. Ada yang bilang Merbabu berasal
dari kata meru (gunung) dan babu (wanita) yang artinya gunung
wanita. Versi lain mengatakan Merbabu berasal dari kata meru (gunung) dan abu (abu)
yang artinya gunung yang berwarna abu-abu / gunung yang berselimut abu. Ini
adalah pendapat yang banyak dipercaya oleh masyarakat. Memang jika dilihat dari
kejauhan Gunung Merbabu tampak berwarna abu-abu.
Gunung Merbabu merupakan gunung
berapi yang sudah tidak aktif. Tercatat terakhir meletus pada tahun 1797. Merbabu
berada di empat wilayah yaitu, barat Kabupaten Magelang, timur Kabupaten
Boyolali, selatan Kota Salatiga, dan utara Kabupaten Semarang. Gunung ini
berketinggian 3142 mdpl. Gunung ini bisa didaki lewat beberapa jalur yaitu,
jalur Thekelan, Cunthel, Suwanting, Wekas, Selo, dll. Pada kali ini saya akan
menceritakan tentang pengalaman saya mendaki Gunung Merbabu via Cunthel bersama
teman-teman.
Kami memulai perjalanan dari Kota
Semarang. Dari sini menuju basecamp pendakian kami memilih untuk menggunakan
transportasi umum. Kami menumpang mini bus jurusan Semarang-Salatiga bertarif
Rp. 10000. Tiba di Kota Salatiga kami turun di Pasar Sapi. Lalu menumpang lagi
angkot jurusan Salatiga-Kopeng bertarif Rp. 5000. Kemudian kami turun di Jalan
Umbul Songo. Dari sini tidak ada angkutan umum yang mengantar kami menuju
basecamp. Untung saja ada teman kami, penduduk asli, berbaik hati mengantar
kami menuju basecamp.
Basecamp yang kami tuju terletak di
Dusun Cunthel Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Bangunan
basecamp berada di kiri jalan tepat sebelum masuk area perkampungan. Di
basecamp ini semua pendaki wajib mengisi data diri dan membayar karcis sebesar
Rp. 15.000. Terdapat tempat parkir yang cukup luas di sini sehingga bagi
pengunjung yang membawa mobil tidak perlu khawatir. Terdapat juga counter yang
menyediakan aneka souvenir seperti gantungan kunci, stiker, dan kaos.
|
Basecamp Manggala Cunthel |
Kami bertujuh mulai mendaki pukul
10.30. Menurut petugas di basecamp, pendakian biasanya memakan waktu 8 jam dari
basecamp sampai ke puncak dan bisa lebih untuk pendaki pemula. Terdapat 2 pos
bayangan dan 3 pos utama yang harus dilewati. Biasanya para pendaki mendirikan
tenda di pos 3, di Puncak Menara, atau di Puncak Syarif. Kami berharap agar
bisa sampai di camping ground sebelum matahari tenggelam sebab berbahaya jika
melakukan pendakian di malam hari dengan kapasitas kami sebagai pendaki pemula.
Setiap pos ditandai dengan plang
hijau berisi infomasi nama pos, ketinggian, dan jarak ke pos selanjutnya. Di
pos bayangan 1 terdapat bangunan gazebo permanen kira-kira berukuran 3x3. Cocok
dijadikan tempat berteduh jika sedang hujan. Di pos bayangan 2 tidak terdapat
bangunan seperti sebelumnya. Namun, di sini ada sumber mata air. Biasanya para
pendaki beristirahat di sini sambil mengisi air untuk bekal. Di pos 1 terdapat
beberapa bongkahan batu besar. Oleh sebab itu, pos ini dinamakan Pos Watu
Putut. Selanjutnya di pos 2, tanah di sini lumayan datar. Cukup untuk
mendirikan 1 atau 2 tenda. Pos ini dinamakan Pos Kedokan. Di pos ini kami sudah
berada di ketinggian 2430 mdpl. Pos terakhir adalah Pos Kergo Pasar. Tanah di
pos ini datar dan sangat lapang. Para pendaki biasanya mulai mendirikan tenda
di pos ini. Di pos ini juga Gunung Andong, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran
bisa disaksikan keindahannya.
|
Pos 2 Kedokan |
Perjalanan
dari pos 3 ke Puncak Menara adalah perjalanan terberat dibanding dengan
perjalanan menuju pos-pos sebelumnya. Trek menanjak hampir 30 %. Di sekitar
trek pepohonan dan semak-semak sudah mulai jarang sehingga jika jatuh bisa
berbahaya. Saking lelahnya kami lama kelamaan berjalan merangkak dan terpleset.
Sesekali kami menengok ke belakang untuk melihat pemandangan Gunung Andong,
Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Beruntung sekali pada sore itu kabut
sedang bersahabat sehingga kami dapat melihat pemandangan dengan jelas. Semburat
kuning sinar matahari tenggelam menambah keindahan pemandangan sore itu.
Perlahan tapi pasti matahari tenggelam ufuk barat. Begitu juga dengan
perjalanan ini perlahan tapi pasti akan sampai pada tujuan.
|
Gunung Andong, Telomoyo, dan Ungaran |
Pukul 19.00 kami tiba di puncak yang
terdapat menara pemancar di situ atau biasa disebut Puncak Menara. Di sini kami
berada di ketinggian 2847 mdpl. Banyak sekali pendaki yang mendirikan tenda di
sini. Untuk lewat saja kami harus berhati-hati agar tidak tersandung tali
tenda. Kami beruntung masih ada tempat untuk mendirikan satu tenda. Malam ini
Merbabu sedang diserbu ratusan pendaki karena malam ini adalah malam terakhir
di bulan Desember. Para pendaki berombongan ada juga yang sendiri ingin
menikmati perayaan pergantian tahun di atas awan. Kelap-kelip lampu kota
bagaikan bintang-bintang bertaburan di muka bumi. Itulah peribahasa yang tepat
untuk menggambarkan pemandangan di bawah. Sesekali kembang api menyala dari
bawah. Terlihat sangat kecil sekali. Namun, suaranya terdengar sampai di sini.
Semakin malam udara semakin dingin.
Semakin malam angin berhembus semakin kencang menghantam tenda dari kanan dan
kiri. Syukur Alhamdullilah tenda kami masih berdiri sampai pagi.
Sebelum fajar para pendaki memulai
perjalanan lagi menuju puncak tertinggi yaitu Puncak Kenteng Songo. Menurut
salah satu pendaki, matahari terbit tidak akan terlihat jika kita berada di Puncak
Menara sehingga harus melanjutkan perjalanan sebelum fajar.
Pemandangan pagi di Puncak Menara
sangat indah. Matahari tebit dari sebelah timur. Keindahannya tidak bisa kami
nikmati seutuhnya karena terhalang puncak-puncak Merbabu. Hanya terlihat
sinarnya saja dari sini. Gumpalan awan bagai kapas muncul secara bersamaan.
Indah sekali. Dihiasi dengan warna kuning keemasan gumpalan awan tersebut
seperti jalan menuju nirwana. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan kami langsung
mengeluarkan kamera dan mengabadikan momen berharga ini.
|
Samudra Awan |
Saat hari benar-benar terang sekitar
pukul 07.00 kami melanjutkan perjalanan. Trek berupa bebatuan. Kanan kiri
jurang. Kadang menuruni bebatuan. Kadang menaiki bebatuan. Tiba di persimpangan
jalan terdapat plang petunjuk arah. Plang tersebut menunjukkan bahwa jalan ke
puncak lurus ke depan. Di persimpangan itu kami bertemu dengan salah seorang
pendaki. Menurut penuturannya, jalan ke puncak bisa ambil jalur yang sebelah
kiri. Jika lewat jalur ini tidak akan melewati Jembatan Setan yang menjadi
momokku sejak awal. Kami menurut saja.
Awalnya trek menurun berupa
bebatuan. Setelah itu kami melewati area seperti kawah yang sudah mati. Bau
belerang sangat menyengat. Lalu kami melewati sumber mata air. Di sini banyak
pendaki yang sedang mengisi botol-botol minumannya. Kami berjalan lurus.
Kemudian naik melewati trek berupa tanah. Dan akhirnya kami mencapai trek
mendatar. Kami berjalan lurus ke arah kanan. Semakin maju hatiku semakin ragu
bahwa jalan ini akan membawa kami menuju puncak Kenteng Songo. Pasalnya semakin
maju jalan semakin sempit bahkan hanya cukup untuk dilewati satu telapak kaki. Kami
juga tidak berpapasan dengan pendakian lain. Sepertinya jalan ini jarang
dilintasi.
Tiba-tiba dari arah barat kami
mendengar suara orang berteriak menanyakan kami mau kemana. Kami menjawab kami
ingin ke puncak Kenteng Songo. Orang tersebut meminta kami untuk berbalik arah
karena jalan yang kami lewati salah. Sesampainya di persimpangan awal kami
bertemu dengan pemilik suara tadi. Ternyata beliau adalah petugas yang
bertanggung jawab mengawasi para pendaki di area puncak. Beliau berkata bahwa
jalan yang kami lewati tadi adalah jalur pendakian ritual. Jalur tersebut
merupakan jalur khusus untuk melakukan ritual di Gunung Merbabu. Jadi bukan
kapasitas kami untuk melewati jalur tersebut. Jika diteruskan bukan puncak yang
akan kami dapati tetapi kesasar dan bisa saja tidak bisa pulang.
Dengan alasan keamanan para pendaki
dilarang berada di puncak kenteng songo lebih dari jam 10. Maka dari itu kami
memutuskan untuk kembali ke tenda saja. Jika kami memaksa untuk melanjutkan
perjalanan tentu waktunya tidak akan cukup mengingat jarak yang masih jauh dan
waktu yang terbatas. Pelajaran yang dapat diambil dari kejadian ini adalah
ikutilah jalur resmi sesuai petunjuk dan jangan bersikap sembrono.
Setibanya di tenda kami berkemas.
Penjalanan turun lebih cepat daripada saat naik. Sesampainya di basecamp kami
melapor kembali kepada petugas. Di sekitar basecamp ada beberapa penjual
jajanan keliling seperti bakso kuah. Suasana dingin seperti ini memang cocok
makan makanan yang hangat dan berkuah.
Pendakian di Gunung Merbabu memberi
kenangan indah dan pengalaman berharga. Walaupun belum mencapai puncak tertinggi
hal itu tak mengurangi rasa syukur kami. Kami bersyukur bisa kembali ke rumah
dengan selamat sehingga bisa melakukan perjalanan lagi menjelajah bumi
nusantara yang indah. Terima kasih Tuhan yang telah memberi kami kesempatan
menyaksikan dan mengagumi keindahan ciptaanmu.